http://www.facebook.com/danu.suryani/photos

DANU SURYANI

Get Gifs at CodemySpace.com

semoga bermanfaat, dan MOHON KOMENTARNYA !!!

semoga bermanfaat, & MOHON KOMENTARNYA !!!

Silahkan dilihat'.........

Kamis, 12 Januari 2012

TINJAUAN BUDAYA DAN SEJARAH TERHADAP SISTEM ADMINISTRASI NEGARA REPUBLIK INDONESIA



Oleh Danu Tirta Pratama
UNIVERSITAS DJUANDA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Referensi Utama:
1. Lembaga Administrasi Negara RI, Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia, Jilid I dan II, Jakarta : Gunung Agung , Tahun 1996.
2.Patricia W. Ingriham, New Paradigms for Government, San Francisco: Bass Publisher, Tahun 1994.
3.Inu Kencana Syafei, Ilmu Administrasi Publik, Jakarta: Rineka Cipta, Tahun 1997.
4. Priono Djiptoharianto, Reformasi Administrasi dan Pembangunan Nasional, Jakarta: FE UI, Tahun 1993.


Tinjauan Budaya Terhadap Administrasi 
Secara etimologis kebudayaan berasal dari kata sansekerta yaitu ’’buddhayah’’ bentuk jamak dari buddhi (akal) sehingga dikembangkan menjadi budi-daya, yaitu kemampuan akal budi seseoran atau sekelompok manusia. Kaitannya dengan sistem administrasi negara adalah bahwa budaya sangat terkait secara erat karena budaya terkait erat dengan pola prilaku sesorang atau sekelompok orang (suku) yang berorientasinya sekitar tentang kehidupan bernegara. 
Menurut Prof. Dr. Koentaraningrat: kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat, yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar. Menurut Dr. Moh.Hatta kebudayaan adalah ciptaan hidup dari suatu bangsa. 
Berbicara tentang kebudayaan indonesia, tentu sulit sekali, tetapi sebenarnya inilah yang merupakan kepribadian bangsa indonesia yang diwarisi sejak zaman dahulu kala. Indonesia sebagai sebuah bagian dari satu budaya terdiri dari subculture dimana sebagai suatu bangsa yang majemuk terdiri dari beberapa budaya bangsa yang berbeda. Untuk itu perlu dikaji sub-sub kultur yang terdapat ditanahair republik indonesia. Budaya kedaerahan yang mempengaruhi masing-masing suku dalam khazanah budaya indonesia yang kaya ini dapat dirumuskan yang disebut ’’bhinneka tunggal ika tan hanna mangrwa yang oleh Mpu Prapanca sudah sebutkan beberapa abad yang lalu.
Budaya yang terdapat di Indonesia yang beraneka ragam dan banyak jumlahnya mempengaruhi penyelenggaraan administrasi negara di indonesia. Seperti budaya politik kawula gusti yang sebenarnya dapat dikaji dari etika jawa yang terkenal tabah tetapi ulet. Memang halini sudah terpatri dalam kromo inggil yang bernukil dalam falsafah hidup. misalnya dalam kepasrahan menghadapi tantangan hidup, mereka sebut ’’nrimo’’ (menerima dengan pasrah) sebaliknya meniadakan kesombongan bila memperoleh keberuntungan, mereka memakai istilah ’’ojo dumeh’’ (jangan mentang-mentang).
Bila menghormati orang yang dituakan, lalu mengangkat seluruh jasa-jasanya untuk dicontoh dan membenamkan dalam-dalam yang keliru diperbuat tokoh tersebut supaya tidak terulang lagi disebut ’’mikul dhuwur mendem jero’’ (memikul tinggi-tinggi, mengubur dalam dalam). Untuk meningkatkan kebersamaan dan kekeluargaan mereka beristilah ’’mangan ora mangan pokok e kumpul (makan ga makan yan penting berkumpul). Dalam memantapkan pekerjaan agar teliti dan berhati-hati walaupun kemudian memerlukan waktu, mereka beristilah ’’alon-alon waton kelakon’’ (pelan-pelan asal tercapai).
Sementara budaya minangkabau dalam administrasi publik adalah dimana budaya politik partisan sebanarnya dapat dikaji dari ranah minangkabau, orang padang terkenal dengan ulet bersilat lidah dan tidak mau mengalah dan hal itu sudah mereka miliki semenjak nenek moyang mereka. Dalam mempertahankan gengsi, kewibawaan dan persamaan derajat, mereka mengatakan ’’togak samo tinggi, duduak samo rendah’’ (duduk sama tinggi duduk sama rendah).

Tinjauan Sejarah
1.      Periode sebelum kemerdekaan
Sejarah indonesia mencatat bahwa ada tiga kerajaan besar yang timbul dan berkembang sebagai leluhur bangsa indonesia yaitu: sriwijaya, majapahit dan mataram islam. Kerajaan-kerajaan lain juga melahirkan budaya yang berurat dan berakar sampai saat ini, seperti pajajaran, buleleng, melayu, deli.
Bendera nasional indonesia adalah sang merah putih yang semenjak zaman majapahir telah dikibarkan. Bahkan mahapatih majapahit gajahmada telah mengibarkannya di sorong papua. Lagu indonesia raya yang diciptakan wage rudolf supratman, yang untuk pertama kali diperdengarkan di hari sumpah pemuda tanggal 28 oktober 1928 di jakarta sebelum indonesia.
Melalui sumpah pemuda lahirlah suatu tekad yang bulat bahwa indonesia adalah satu tanah air, satu bangsa da satu bahasa. Dari sini indonesia berhasil menyatukan negaranya dalam suatu bahasa nasional yang sama dari sabang sampai merauke, tidak seperti beberapa negara yang belum berhasil menjadi suatu bangsa dan tidak punya bahasa yang sama seperti, swiss yang bahasa ada tiga dan ikatan sosialnya terfragmentasi kedalam tiga budaya dimana sangat tergantung kepada tiga bangsa yaitu perancis, italia, dan german begitu juga dengan belgia yang terframentasi kedalam bebeerapa bahasa yang belum berhasil mentatukan diri sebagai bangsa dan tidak punya satu bangsa sebagai bahasa nasional, dimana wilayah bergia yang dekat dengan belanda mempunyai akar budaya dan bahasa belanda begitu juga mereka yang bagian wilayahnya dekat perancis tidaka telepas dari karakter perancis. Negara ini baru berhasil membentuk suatu negara karena ikatan politik dimana mereka ada ikatan karena ada dan terbentuk dalam suatu negara tertentu.
2.Periode sesudah kemerdekaan
a.       periode 18 Agustus 1945 s/d 27 Desember 1949 tanggal 18 agustus PPKI mengadakan sidang dan berhasil merumuskan UUD 1945 yang terdiri dari pembukaan, batang tubuh dan penjelasan dan juga memilih presiden dan wakil presiden. Dalam periode ini ini yangmenjadi rujukan berbangsa dan bernegara adalah UUD 1945. pada tanggal 2 september 1945 menteri menetapkan menteri-menteri yang berjumlah 12 dan juga 8 gubernur. Pada periode ini masih terjadi agresi militer belanda yang masih ingin bermaksud untuk kembali menduduki Indonesia. 
b.      b.periode 27 Desember 1949 s/d 17 Agustus 1950
pada periode ini Indonesia menjadi Negara federal atau lebih dikenal RIS (republic Indonesia serikat).
c.       c.periode 17 Agustus 1950 s/d 5 Juli 1959
pada periode ini kembali ke UUDS yang kemudian berakhir dengan adanya dekrit presiden soekarno yang mengatakan kembali ke UUD 1945. dimana kemudian yang berlaku adalah nasakom dan kekuasaan ada ditangan soekarno sepenuhnya
3.Orde lama
Adminstrasi berjalan di bawah demokrasi terpimpin yang dikembangkan Bung Karno, beliau memperkenalkan musyawarah mufakat, ekonomi terpimpin yang mengarah ke etatisme.
4.Orde baru
Pada masa ini muncul istilah administrasi pembangunan yang sifatnya sentralistik dimana kekuasaan pusat mendominasi sistem adminitrasi daerah
5. Administrasi di era reformasi
Administrasi berjalan di era transisi yang sedang mencari bentuk atau format terbaiknya guna mensikapi tuntutan perkembangunan regional atau global yang begitu cepat.

Lembaga- Lembaga Tinggi Negara
Lembaga-lembaga tinggi negara adalah cabang-cabang kekuasaan dalam suatu negara seperti MPR, DPR, Presiden, MA, MK dan BPK
Organisasi Departemen
Organisasi pemerintah (eksekutif) yang dipimpin oleh seorang menteri yang bertanggungjawab kepada presiden

Organisasi Non-Departemen
1.BPPT
2.Bappenas
3.BIN
4 BATAN
5.dan lain-lain

Menteri Koordinator dan Menteri Negara
1.Menko Bidang Politik dan Keamanan
2.Menko Bidang Ekonomi
3.Menko Bidang Kesejahteraan Rakyat

Administrasi Pemerintah Daerah
1.Pemerintah Daerah Provinsi
2.Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

Administrasi Daerah
1.Kelurahan
2.Desa

Prinsip Good Governance
Mungkin sudah banyak yang tahu, tapi tak ada salahnya saya ingin menuliskan kembali disini tentang 10 Prinsip Good Governance, dengan link yang diklik jika ingin mengetahui lebih jauh, sekedar mengingatkan di akhir pekan:
1. Partisipasi
2. Penegakan Hukum
3. Transparasi
4. Kesetaraan
5. Daya Tanggap
6. Wawasan Kedepan
7. Akuntabilitas
8. Pengawasan
9. Efesiensi & Efektifitas
10. Profesionalisme

Good Governance dan Independensi Birokrasi
Government, in the last analysis
Is organized opinion
Where there is little or no public opinion
there is likely to be bad government,
which sooner or later becomes
autocratic government…
(William Lyon Mackenzie King)

Pendahuluan
Situasi kepemimpinan (eksekutif, legislative maupun yudikatif) di Indonesia tengah mengalami kegundahan yang sangat meresahkan publik, bukan hanya dalam lingkup nasional, tapi juga internasional. Sebenarnya, fenomenon ini hanya merupakan satu dari sekian banyak faktor yang menyebabkan Indonesia harus terengah-engah dan terlunta-lunta untuk menegakkan dirinya sebagai suatu bangsa yang layak untuk dihormati dalam komunitas internasional. Faktor-faktor lain yang berkontribusi dalam menyebabkan kondisi ini antara lain:
1.      kondisi sosial politik yang tidak jelas, dengan pemain kunci dalam dunia politik yang tidak berorientasi pada public interest,
2.       kesenjangan sosial-ekonomi,
3.      mispersepsi tentang makna demokrasi (bukan hanya oleh publik secara umum, tapi juga oleh sekelompok politik),
4.      hukum yang masih belum seluruhnya berpihak pada kepentingan rakyat,
5.      intervensi dalam penyelenggaraan kekuasaan negara, khususnya dalam bidang hukum,
6.      inkonsistensi dan diskriminasi dalam pengambilan kebijakan publik,utamanya dalam penerapan hukum,
7.      rendahnya partisipasi publik dalam pengambilan keputusan
Betapapun keterlibatan lembaga legislatif dan yudikatif dalam penyelenggara kekuasaan negara ini, sangat jelas bahwa peran eksekutif yang diserahi menyelenggarakan tugas keseharian sangatlah signifikan. Bahwasanya birokrasi mendapat sorotan dan kritik yang pedas dan dituntut untuk mengalami perubahan, memang terjadi di seluruh dunia, yang erat kaitannya dengan pengembangan konsep Good Governance.
Sebelum melihat Indonesia lebih lanjut, layak disimak kerangka teori yang mendasari pemerintahan dan Good Governance yang seharusnya menjadi landasan dalam memberikan pengaturan dan juga pelayanan pada publik.

Good Governance
Pemerintah atau government, pada dasarnya merupakan suatu sturuktur lembaga formal menyelenggarakan tugas keseharian negara. Dalam rumusan kamus hukum yang disusun Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Government didefinisikan antara lain sebagai “… an organization through which a body of people exercise political authority: the machinery by which sovereign power is exercised…”.
Pertengahan tahun 1980an telah berkembang konsep governance, yang dirumuskan oleh World Bank sebagai ”….the manner in which power is exercised in the management of a country’s economic and social resource for development…” sedangkan konsep Good Governance sendiri kemudian banyak dikembangkan oleh berbagai penulis, dengan masing-masing argumentasi dan justifikasi, sehingga disebut sebagai ‘a rather confusing variety of catchword, sebagai suatu konsep yang ‘has come to mean too many different things. Walaupun demikian, pada pokoknya ada suatu kesamaan, atau common denominator dalam semua definisi tentang GG, yaitu bahwasannya pembangunan harus’…. to a great extent rely on good administrative and law processes, within which each country must find its own pragmatic consensus between the various development goals…
Tiga aspek Governance dengan demikian mencakup:
1.      the form of political regime,
2.      the process by which authority is exercised in the mana-gement of a country’s economic and social resources for development, and
3.      the capacity of governments to design, formulate, and implement policies and discharge functions.
Bagi penyelenggara kekuasaan Negara, termasuk yang masuk dalam jajaran birokrasi, nampaknya harus ditekankan bahwa mereka adalah pelayan masyarakat (public servant) yang bertugas untuk memberikan services yang terbaik untuk rakyat, bukan untuk diri sendiri atau kelompoknya. Apabila dapat diyakinkan bahwa hukum yang dibentuk adalah berorientasi pada kepentingan rakyat dan berkeadilan sosial, serta penyelenggara kekuasaan negara dalam menjalankan tugasnya bersifat non-diskriminatif, transparan, obyektif dan tegas, mau tidak mau secara perlahan-lahan masyarakat juga akan mengikuti pola ini.
Hal yang disebut terakhir ini sedikit banyak merupakan tanggung jawab pemerintah juga, khususnya dalam menciptakan masyarakat yang terdidik, an educated public. Keberadaan masyarakat yang terdidik, pada masa kolonial, merupakan suatu hal yang dihindari oleh penjajah. Alasannya sederhana saja, meningkatnya jumlah warga masyarakat yang mampu berpikir kritis akan mengancam kekuatan penjajah, yang tentunya lebih suka mendikte dan tidak mengikut sertakan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Dengan membiarkan rakyat dalam kebodohan, dalam ketidaktahuan, akan lebih muda untuk memerintah mereka. 
Pembukaan UUD 1945 telah dengan tegas mencantumkan bahwa salah satu tugas dalam pendirian Republik Indonesia antara lain adalah “mencerdaskan bangsa”. Masyarakat yang cerdas akan dengan mudah memahami hak dan kewajibannya, baik secara sosiologis maupun yuridis. Selain itu, ia dapat berpikir bukan hanya untuk dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya, namun juga akan banyak membantu pemerintah untuk mencapai kondisi masyarakat yang sejahtera. Tanpa adanya masyarakat yang cerdas, bagaimana mungkin pembangunan dapat dilakukan bersama? 

Indonesia dan Good Governance
Dalam kerangka hukum dan politik, sudah jelas bahwa konstitusi kita telah mengamanatkan pelaksanaan dan penyelenggaraan kebijakkan politik dan hukum pada birokrasi negara. Pada gilirannya, kebijakan-kebijakan ini dielaborasi dan diberi wadah yang konkrit dan berwujud dalam program sehingga disebut sebagai kebijakan publik. Sulit dewasa ini untuk mengingkari adanya persepsi publik bahwa konsep Good Governance belum dilaksanakan dengan baik. Sejumlah kata kunci yang selalu dilekatkan pada konsep ini yang masih dipertanyakan yakni yang berkenaan dengan:
a.       legitimasi pemerintah (tingkat demokratisasi),
b.      akuntabilitas pemerintah (kebebasan pers, pembuatan keputusan yang transparan, mekanisme pertanggungjawaban pemerintah),
c.       kompetensi pemerintah untuk membuat dan melaksanakan kebijakan, penghormatan pemerintah pada HAM dan rule of law (perlindungan atas hak individu dan kelompok, kerangka kegiatan ekonomi dan sosial, serta partisipasi publik).
Apabila hal-hal yang disebut di atas tidak dipenuhi, akan sangat sulit bagi masyarakat untuk melihat kesungguhan pemerintah dalam menyelenggarakan kegiatan pemerintah. Ketidakjelasan dan ketidaktransparanan proses pengambilan keputusan misalnya, membuat masyarakat selalu diliputi oleh berbagai pertanyaan, apakah memang benar bahwa kepentingan mereka selalu diprioritaskan.
Good governance sangat erat kaitannya dengan gerakan sosial yang kini sangat marak, yakni upaya menuju ke arah civil society, yang dilandasi dengan asumsi bahwa rakyat sudah jauh lebih terdidik daripada dahulu. 
Dengan demikian, maka dalam upaya maraih kondisi civil society yang dapat urun rembung untuk membangun bangsa bersama-sama dengan pemerintah, masa transisi ini sangat tepat untuk dijadikan batu loncatan untuk menuju ke arah adanya masyarakat yang:
1.      mempercayai kebijakan pemerintah
2.      tidak sekedar “tut wuri handayani” akan tetapi juga memiliki kemampuan memahami landasan berpikir dan perilaku pemerintah,
3.      merasa menjadi bagian yang signifikan dalam pengambilan keputusan oleh pemerintah,
4.      partisipasi dalam membangun negara.
Mungkin yang sulit pada masa ini adalah mengajak masyarakat untuk mempercayai pemerintah. Secara sederhana saja, berbagai unjuk rasa yang dilakukan bukan hanya oleh mahasiswa tapi juga kelompok-kelompok masyarakat lainnya, menunjukkan ketidakpuasan dan juga ketidakpercayaan pada pemerintah. Hal lain yang layak dicermati adalah rendahnya tingkat pengikutsertaan rakyat dalam berbagai tingkat pengambilan keputusan, yang lebih dikenal dengan demokratisasi. Menganggap rakyat sebagai obyek belaka untuk diatur berarti menempatkan mereka dalam posisi pasif, yang pada satu titik dapat membuat mereka menjadi apatis, namun dalam titik yang ekstrim dapat menimbulkan adanya pembangkangan bahkan agresi. Tentunya bukan kondisi semacam ini yang diinginkan oleh kita semua, walau ternyata sudah terjadi di beberapa wilayah di Indonesia, yang kembali mencerminkan bagaimana persepsi publik mengenai birokrasi di Indonesia. 

Independensi Birokrasi dari politicking: Mungkinkah ?
Salah satu hal yang seringkali mendapatkan sorotan tajam dari publik adalah tingginya tingkat dependensi pejabat publik pada key political players. Melihat betapa besarnya kekuasaan yang didelegasikan pada pemerintah ini, sangat besar kemungkinan bahwa pemilihan orang-orang yang menempati posisi kunci adalah yang dekat dengan penguasa tertinggi. Maka tidak mengherankan apabila muncul pernyataan I am against government by crony, demikian kata Harold L. Ickers ketika mengundurkan diri sebagai sekretaris Menteri Dalam Negeri pada bulan Pebruari 1946.
‘Kekuasaan dalam birokrasi pemerintah selama ini dipergunakan sangat sentralistis dan eksesif,’ demikian pernyataan Miftah Thoha yang sulit untuk dipungkiri nampaknya. Ia katakan pula bahwa “…..semakin tinggi layer hirarki jabatan seseorang dalam birokrasi, maka semakin besar kekuasaannya, dan semakin rendah layer hirarkinya semakin tidak berdaya (powerless)…Adapun yang berada di luar layer-layer hirarki (beyond the hierarchy) adalah rakyat yang sama sekali tidak mempunyai kekuatan untuk mengahadapi kekuasaan birokrasi.’ 
Dalam kutipan di atas nampak bahwa setidaknya terjadi dua macam dominasi kekuasaan, yakni:
a.       yang bersifat vertical (atasan-bawahan dalam birokrasi)
b.      horizontal (birokrasi terhadap rakyat)
Apabila hal yang dibuat terakhir ini berkenaan langsung dengan akuntabilitas publik, nampakya harus dikaji kembali, mekanisme tes macam apa yang kini ada dan applicable. Sedang untuk hal yang pertama, nampak bahwa untuk dapat menduduki posisi tertentu sangat tergantung pada atasan. Pejabat birokrasi dianggat oleh pejabat yang berkuasa pada hirarki tertinggi dalam lembaganya. Seringkali kemudian ini diterjemahkan bahwa mereka yang berada di bawah berkewajiban untuk tunduk dan bertanggungjawab pada sang atasan, instead of pada rakyat, sehingga lagi-lagi unsure public service seakan terabaikan.
Namun Miftah agaknya melupakan bahwa masih ada dominasi kekuasaan yang belum tercakup olehnya, yakni dominasi kekuasaan politik terhadap birokrasi ini. Bahwasanya setiap terjadi pergantian rejim maka terjadi perubahan dalam pimpinan birokrasi, merupakan suatu konvensi politik yang layak dijadikan wacana. Kondisi semacam ini menyebabkan bahwa kewajiban dan akuntabilitas seakan dikaitkan ke atas dengan kekuatan politik yang tengah berkuasa. Teori-teori tentang elite group yang diketengahkan berbagai pemikir menekankan bahwa kekuasaan itu tidak hanya berada di tangan elit birokrasi pemerintah, akan tetapi juga berada di tangan elit yang tidak bertanggungjawab, i.e kekuatan politik yang berkuasa. Maka semuanya menjadi sangat tergantung pada visi dan juga kepentingan penguasa tertinggi dalam birokrasi.
Pejabat tertinggi dalam suatu lembaga pemerintah bertanggungjawab hanya pada presiden, dan ini memungkinkan timbulnya celah bahwa mereka tidak bertanggungjawab pada rakyat. Sebagai akibatnya maka:
1.      pengambilan keputusan mengutamakan kepentingan politik,
2.      kebijakan dan aturan yang dibuat meletakkan rakyat tidak dalam prioritas,
3.      tingginya kemungkinan intervensi dalam pengam-bilan keputusan,
4.       pemilihan tidak berdasar meritocracy,
5.       tingginya kemungkinan perubahan kebijakan dari satu pimpinan ke pimpinan lain, yang merugikan konsistensi dan kesinambungan suatu program,
6.       peraturan kebijakan (policy rules, beleidsregel) lebih bersumber pada kebebasan bertindak (freies ermessen) yang seringkali tidak mengindahkan asas umum penyelenggaraan administrasi negara yang baik dan wajar (the general principles of good administration).
Kondisi semacam ini, utamanya tanpa akuntabilitas publik akan sangat membahayakan kepentingan rakyat. Tidaklah dengan demikian berarti bahwa semua birokrasi berperilaku seperti ini, akan tetapi kecenderungan yang muncul, yang dilandasi oleh penempatan seseorang dalam jabatan tertentu lebih didasarkan pada kedekatan pada kekuasaan, pada akhirnya menjadikan pejabat karir menjadi warga negara kelas dua di lembaganya.
Dengan adanya independensi birokrasi dari kepentingan-kepentingan politik maka ada beberapa situasi kondusif yang diciptakan, antara lain :
1.      rekrutmen dan penempatan pejabat dalam birokrasi sesuai dengan keahlian dan pengalamannya.
2.      kebijakan public yang diambil akan dapat dilaksanakan dengan konsisten dan berkesinambungan, yang pada gilirannya diharapkan dapat menghasilkan pemerintahan yang efektif dan efisien.
Namun demikian tetap harus diingat bahwasanya mengharapkan adanya independensi ini akan menjamin adanya Good Governance, tentunya merupakan pemikiran yang patut diluruskan. Apabila kualitas dan system birokrasinya masih dijalankan seperti saat ini, hanya sedikit perubahan yang dapat diharapkan. Sumber daya manusia yang akan ditempatkan sedikitnya harus:
1.      mempunyai integritas dan bersih, yang nampak dari track record yang bersangkutan,
2.      mempunyai kemampuan manajerial dan substantive dan juga motivasi untuk melaksanakan penyelenggaraan tugas birokrasi,
3.       memiliki pemahaman yang berwawasan public service, yang mengutamakan kepentingan pribadi, kelompok dan sebagainya,
4.      mengambil keputusan secara transparan dan obyektif,
5.      memperhitungkan public opinion dalam pengambilan keputusannya.
Bahkan harus diperhitungkan pula kemungkinan bahwa independensi ini kemudian diterjemahkan sebagai kebebasan yang tak terbatas (unlimited independence). Dalam kerangka mengantisipasi hal ini maka mekanisme harus ada akuntabilitas publik . 
Menyadari keberadaannya dalam masa transisi ini, diperlukan upaya-upaya yang optimal untuk membuat bangsa Indonesia meningkatkan rumangsa hadarbeni, sense of belonging, le desir de vivre ensemble. Teriakan-teriakan propagandis baik birokrat maupun politisi (yang seringkali sama saja) hendaknya dihentikan hanya sekedar sebagai retorika belaka oleh semua pihak, sudah waktunya ia dimanifestasikan dalam aksi yang konkrit. Kondisi yang tengah dialami Indonesia saat ini seharusnya telah cukup untuk menimbulkan “sense of urgency” pada setiap orang akan perlunya untuk kembali pada supremasi hukum. Hukum yang melandasi Good Governance seharusnya menjadi landasan dalam berperilaku, bukan hanya bagi rakyat, tapi juga bagi pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya.
Walau demikian, harus diingat bahwa hukum dalam kerangka pemerintah yang dimaksud adalah hukum yang memang benar-benar diciptakan melalui proses yang benar dan sesuai dengan aspirasi rakyat, dengan mengacu pada kepentingan rakyat dan keadilan social. Tanpa adanya hukum yang berkeadilan, baik yang dibuat oleh legislatif, eksekutif maupun yudikatif, sulit diharapkan bahwa hukum akan diterima dan dijadikan panutan. Tentu harus diingat bahwa melakukan pembaruan hukum dan aparatnya tidak dapat dilakukan dengan cepat. Memang diperlukan cukup waktu, namun harus diupayakan agar pembaruan ini dapat dicapai “dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.”
Partisipasi masyarakat merupakan salah satu pilar yang menjadi necessary condition untuk supremasi hukum yang berkeadilan. Untuk ini diperlukan adanya masyarakat yang terdidik, sehingga mampu untuk mengurai makna keberadaan mereka dalam negara, termasuk menjalankan hak dan kewajiban mereka. Pada gilirannya, untuk mendampingi masyarakat yang terdidik ini, harus didukung dengan adanya pemerintahan yang baik, good governance 
Pada akhirnya, sinergi antara masyarakat yang mafhum dan partisipatif dengan pengelenggara pemerintahan yang demokratis, transparan, bertanggung jawab dan berorientasi pada HAM, suatu saat kelak, dapat sungguh-sungguh mewujudkan Indonesia yang berkeadilan sosial secara de fecto, bukan hanya de Jure. 

DISIPLIN PNS
Pembinaan Disiplin
Keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai sesuatu tujuan selain sangat ditentukan oleh dan mutu profesionalitas juga ditentukan oleh disiplin para anggotanya. Bagi aparatur pemerin-tahan disiplin tersebut mencakup unsur-unsur ketaatan, kesetiaan, kesungguhan dalam menjalankan tugas dan kesanggupan berkorban, dalam arti mengorbankan kepentingan pribadi dan golongannya untuk kepentingan negara dan masyarakat.
Dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 43 dinyatakan bahwa "Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam peraturan perundang-undangan pidana, maka untuk menjamin tata tertib dan kelancaran pelaksanaan tugas, diadakan Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil".
Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil adalah peraturan yang mengatur mengenai kewajiban, larangan, dan sanksi apabila kewajiban tidak ditaati atau larangan dilanggar oleh Pegawai Negeri Sipil. Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang "Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil". Dalam Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil diatur ketentuan-ketentuan mengenai:
1. Kewajiban,
2. Larangan,
3. Hukuman disiplin,
4. Pejabat yang berwenang menghukum,
5. Penjatuhan hukuman disiplin,
6. Keberatan atas hukuman disiplin,
7. Berlakunya keputusan hukuman disiplin.



Kewajiban
Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 mengatur kewajiban-kewajiban yang harus ditaati oleh setiap Pegawai Negeri Sipil, sebagai berikut. Setiap Pegawai Negeri Sipil wajib,
1. Setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah,
2. Mengutamakan kepentingan Negara di atas kepentingan golongan atau diri sendiri, serta menghindarkan segala sesuatu yang dapat mendesak kepentingan Negara oleh kepentingan golongan, diri sendiri, atau pihak lain,
3. Menjunjung tinggi kehormatan dan martabat Negara, Pemerintah, dan Pegawai Negeri Sipil,
4. Mengangkat dan menaati Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil dan Sumpah/Janji jabatan berdasarkan peraturan perandang-undangan yang berlaku,
5. Menyimpan rahasia negara dan atau rahasia jabatan dengan sebaik-baiknya,
6. Memperhatikan dan melaksanakan segala ketentuan Pemerintah, baik yang langsung menyangkut tugas kedinasannya maupun yang berlaku secara umum,
7. Melaksanakan tugas kedinasan dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab,
8. Bekerja dengan jujur, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan Negara, Memelihara dan meningkatkan keutuhan, kekompakan, persatuan, dan kesatuan Korps Pegawai Negeri Sipil,
9. Segera melaporkan kepada atasannya, apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan Negara atau Pemerintah, terutama di bidang keamanan, keuangan, dan materiel,
10.  Menaati ketentuan jam kerja,
11.  Menciptakan dan memelihara suasana kerja yang baik,
12.  Menggunakan dan memelihara barang-barang milik Negara dengan sebaik-baiknya,
13.  Memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat menurut bidang tugasnya masing-masing,
14.  Bertindak dan bersikap tegas, tetapi adil dan bijaksana terhadap bawahannya,
15.  Membimbing bawahannya dalam melaksanakan tugasnya,
16.  Menjadi dan memberikan contoh serta teladan yang baik terhadap bawahannya,
17.  Mendorong bawahannya untuk meningkatkan prestasi kerja,
18.  Memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan kariernya,
19.  Menaati ketentuan perundang-undangan tentang perpajakan,
20.  Berpakaian rapi dan sopan serta bersikap dan bertingkah laku sopan santun terhadap masyarakat, sesama Pegawai Negeri Sipil dan terhadap atasan,
21.  Hormat menghormati antara sesama Warga Negara yang memeluk agama/kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang berlainan,
22.  Menjadi teladan sebagai Warga Negara yang baik dalam masyarakat,
23.  Menaati segala peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku,
24.  Menaati perintah kedinasan dari atasan yang berwenang,
25.  Memperhatikan dan menyelesaikan dengan sebaik-baiknya setiap laporan yang diterima mengenai pelanggaran disiplin.
Larangan Dalam Pasal 3 ayat (1) diatur larangan-larangan yang tidak boleh dilanggar oleh Pegawai Negeri Sipil, sebagai berikut. Setiap Pegawai Negeri Sipil dilarang,
1. Melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan dan martabat Negara, Pemerintah, atau Pegawai Negeri Sipil,
2. Menyalahgunakan wewenangnya,
3. Tanpa izin Pemerintah menjadi pegawai atau bekerja untuk Negara Asing,
4. Menyalahgunakan barang-barang, uang, atau surat-surat berharga milik Negara
5. Memiliki, menjual, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan barang-barang, dokumen, atau surat-surat berharga milik negara secara tidak sah,
6. Melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau orang lain didalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan Negara,
7. Melakukan tindakan yang bersifat negatif dengan maksud membalas dendam terhadap bawahannya atau orang lain di dalam maupun diluar lingkungan kerjanya,
8. Menerima hadiah atau sesuatu pemberian berupa apa saja, dari siapapun juga yang diketahui atau patut diduga bahwa pemberian itu bersangkutan atau mungkin bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan,
9. Memasuki tempat-tempat yang dapat mencemar-kan kehormatan atau martabat Pegawai Negeri Sipil, kecuali untuk kepentingan jabatan,
10.  Bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya,
11.  Melakukan suatu tindakan atau sengaja tidak melakukan suatu tindakan yang dapat berakibat menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayaninya, sehingga mengakibatkan kerugi-an bagi pihak yang dilayaninya,
12.  Menghalangi berjalannya tugas kedinasan,
13.  Membocorkan dan atau memanfaatkan rahasia Negara yang diketahui karena kedudukan jabatannya untuk kepentingan pribadi, golongan, atau pihak lain,
14.  Bertindak selaku perantara bagi sesuatu pengusaha atau golongan untuk mendapat pekerjaan atau pesanan dari kantor/instansi Pemerintah,
15.  Memiliki saham dalam suatu perusahaan yang kegiatan usahanya tidak berada dalam ruang lingkup kekuasaannya, yang jumlah dan sifat pemilikan itu sedemikian rupa, sehingga pemilikan saham tersebut dapat langsung atau tidak langsung menentukan penyelenggaraan atau jalannya perusahaan,
16.  Memiliki saham/modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaannya,
17.  Melakukan kegiatan usaha dagang baik secara resmi maupun sambilan, menjadi direksi, pimpinan, atau komisaris perusahaan swasta, bagi yang berpangkat Pembina golongan ruang IV/a ke atas atau yang memangku jabatan eselon I,
18.  Melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apapun juga dalam melaksanakan tugasnya untuk kepentingan pribadi, golongan, atau pihak lain.
Pembatasan Berusaha
Menurut ketentuan Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980, Pegawai Negeri Sipil yang berpangkat Penata Tingkat I golongan ruang III/d ke bawah yang akan melakukan usaha dagang, baik secara resmi maupun sambilan, menjadi direksi, pimpinan atau komisaris perusahaan swasta, wajib mendapat izin tertulis dari pejabat yang berwenang.
Untuk mendapatkan izin melakukan usaha dagang, menjadi direksi, pimpinan atau komisaris perusahaan swasta tersebut Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan mengajukan permohonan tertulis kepada pejabat yang berwenang.
Permintaan izin melakukan usaha dagang akan ditolak oleh pejabat yang berwenang, apabila kegiatan usaha dagang tersebut akan mengganggu pelaksanaan tugas Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan, atau dapat menurunkan atau mencemarkan kehormatan Pegawai Negeri Sipil.
Pelanggaran Disiplin
Pelanggaran disiplin adalah setiap ucapan, tulisan, atau perbuatan Pegawai Negeri Sipil yang melanggar ketentuan Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil, baik di dalam maupun di luar jam kerja.
Pegawai Negeri Sipil dinyatakan melanggar Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil apabila dengan ucapan, tulisan, dan atau perbuatannya tersebut secara sah terbukti melanggar ketentuan mengenai kewajiban dan atau larangan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980.
Keterangan :
* Ucapan, adalah setiap kata-kata yang diucapkan dihadapan atau dapat didengar oleh orang lain seperti dalam rapat, ceramah, diskusi, melalui telepon, radio, televisi, rekaman, atau alat komunikasi lainnya,
*Tulisan, adalah pernyataaan pikiran dan atau perasaaan secara tertulis baik dalam bentuk tulisan maupun dalam bentuk gambar, karikatur, coretan dann lain-lain yang serupa dengan itu
*Perbuatan, adalah setiap tingakh laku, sikap, atau tindakan.
Pegawai Negeri Sipil yang melakukan pelanggaran dsiiplin dijatuhi hukuman disiplin menurut ketentuan yang berlaku oleh pejabat yang berwenang menghukum.






Hukuman Disiplin
Hukuman disiplin adalah hukuman yang dijatuhkan terhadap seorang Pegawai Negeri Sipil karena melangar Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Tingkat hukuman disiplin adalah,
1.      Hukuman disiplin ringan,
2.      Hukuman disiplin sedang, dan
3.      Hukuman disiplin berat.
Jenis hukuman disiplin adalah sebagai berikut.
1.      Hukuman disiplin ringan, terdiri atas :
a.       Tegoran lisan,
b.      Tegoran tertulis,
c.       Pernyataan tidak puas secara tertulis.
2.      Hukuman disiplin sedang, terdiri atas :
a.       Penundaaan kenaikan gaji berkala untuk masa sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun,
b.      Penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala untuk masa sekurang- kurangnya 3 (tiga) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun,
c.       Penundaan kenaikan pangkat untuk sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun.
3.      Hukuman disiplin berat, terdiri atas :
a.       Penurunan pangkat pada pangkat yang satu tingkat lebih rendah untuk sekurang- kurangnya 6 (enam) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun,
b.      Pembebasan dari jabatan untuk masa sekurang-kurangnya selama 1 (satu) tahun,
c.       Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil,
d.      Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Setiap hukuman disiplin dijatuhkan oleh pejabat yang berwenang menghukum sesuai tata cara tersebut dalam Surat Edaran Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara Nomor 23/SE/1980 tanggal 30 Oktober 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Pejabat Yang Berwenang Menghukum Pejabat yang berwenang menghukum adalah pejabat yang berwenang menjatuhkan hukuman disiplin. Ketentuan mengenai pejabat yang berwenang menghukum diatur dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980. Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, Dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, maka pejabat yang berwenang menjatuhkan hukuman disiplin adalah sebagai berikut.
1.      Presiden, untuk jenis hukuman disiplin :
a.       pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil bagi Pegawai Negeri Sipil yang berpangkat Pembina Utama Muda golongan ruang IV/c ke atas,
b.      pemberhentian tidak dengan hormat sebagai
c.       Pegawai Negeri Sipil bagi Pegawai Negeri Sipil yang berpangkat Pembina Utama Muda golongan ruang IV/c ke atas,
d.      pembebasan dari jabatan bagi Pegawai Negeri Sipil yang memangku jabatan struktural eselon I, atau jabatan lain yang wewenang pengangkatan dan pemberhentiannya berada di tangan Presiden.
2.      Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat, bagi Pegawai Negeri Sipil Pusat di lingkungannya masing-masing, kecuali jenis hukuman disiplin :
a.       pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil yang berpangkat Pembina Utama Muda golongan ruang IV/c ke atas,
b.      pembebasan dari jabatan struktural eselon I atau jabatan lain yang wewenang pengangkatan serta pemberhentiannya berada di tangan Presiden.
3.      Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Provinsi, untuk semua Pegawai Negeri Sipil Daerah di lingkungan masing-masing, kecuali jenis hukuman disiplin :
a.       pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil yang berpangkat Pembina Utama Muda golongan ruang IV/c ke atas,
b.      pembebasan dari jabatan struktural eselon I atau jabatan lain yang wewenang pengangkatan serta pemberhentiannya berada di tangan Presiden.
4.      Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Kabupaten/ Kota, untuk semua Pegawai Negeri Sipil Daerah di lingkungan masing-masing, kecuali untuk hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil yang berpangkat Pembina Utama Muda golongan ruang IV/c keatas, atau Pegawai Negeri Sipil Daerah yang menduduki jabatan yang wewenang pengangkatan dan pemberhentiannya berada di tangan Presiden.
5.      Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri, bagi Pegawai Negeri Sipil Republik Indonesia yang dipekerjakan pada perwakilan Republik Indonesia di luar negeri, diperbantukan/ dipekerjakan pada Negara Sahabat atau sedang menjalankan tugas belajar di luar negeri, sepanjang mengenai jenis hukuman disiplin berupa:
a.       Tegoran lisan,
b.      Tegoran tertulis,
c.       Pernyataan tidak puas secara tertulis, dan
d.      Pembebasan dari jabatan.

Pendelegasian wewenang menjatuhkan hukuman disiplin
Untuk lebih menjamin daya guna dan hasil guna yang sebesar-besarnya dalam pelaksanaan Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil, maka Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat dan Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah dapat mendelegasikan sebagian wewenang penjatuhan hukuman disiplin kepada pejabat lain di lingkungan masing-masing, kecuali mengenai hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil yang berpangkat Pembina Tingkat I golongan ruang IV/b ke bawah.
Pendelegasian wewenang menjatuhkan hukuman disiplin dilaksanakan dengan surat keputusan Pejabat Pembina Kepegawaian yang bersangkutan.

Penjatuhan Hukuman Disiplin
Tujuan hukuman disiplin adalah untuk memperbaiki dan mendidik Pegawai Negeri Sipil yang melakukan pelanggaran disiplin, oleh sebab itu setiap pejabat yang berwenang menghukum sebelum menjatuhkan hukuman disiplin harus memeriksa lebih dahulu Pegawai Negeri Sipil yang melakukan pelanggaran disiplin.

Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin
Terhadap Pegawai Negeri Sipil yang disangka melakukan pelanggaran disiplin diadakan pemeriksaan. Tujuan pemeriksaan adalah untuk mengetahui apakah Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan benar telah melakukan pelanggaran disiplin.
Pemeriksaan juga bertujuan untuk mengetahui latar belakang serta hal-hal yang mendorong pelanggaran disiplin tersebut. Pemeriksaan dilaksanakan sendiri oleh pejabat yang berwenag menghukum.

Kewajiban melapor
Apabila pejabat pada waktu memeriksa Pegawai Negeri Sipil yang disangka melakukan pelanggaran disiplin berpendapat, bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan-nya hukuman disiplin yang wajar dijatuhkan adalah di luar wewenangnya, maka pejabat tersebut wajib melaporkan hal itu kepada pejabat yang berwenang menghukum yang lebih tinggi melalui saluran hirarki.
Laporan tersebut disertai dengan hasil-hasil pemeriksaan dan bahan-bahan lain yang diperlukan. Pejabat yang berwenang menghukum yang lebih tinggi wajib memperhatikan dan mengambil keputusan atas laporan itu.

Keputusan Hukuman Disiplin
Sebelum menetapkan keputusan penjatuhan hukuman disiplin, pejabat yang berwenang menghukum wajib mempelajari dengan saksama laporan hasil pemeriksaan pelanggaran disiplin.
Hukuman disiplin harus setimpal dengan pelanggaran disiplin yang dilakukan dan harus dapat diterima dengan rasa keadilan. Kepada Pegawai Negeri Sipil yang berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata melakukan beberapa pelanggaran disiplin, terhadap-nya hanya dapat dijatuhi satu jenis hukuman disiplin. Kepada Pegawai Negeri Sipil yang pernah dijatuhi hukuman disiplin yang kemudian melakukan pelanggaran disiplin yang sifatnya sama, terhadapnya dijatuhi hukuman disiplin yang lebih berat dari hukuman disiplin terakhir yang pernah dijatuhkan kepadanya.
Hukuman disiplin yang berupa "tegoran lisan" disampaikan secara lisan oleh pejabat yang berwenang menghukum.
Hukuman disiplin berupa "tegoran tertulis", rnyataan tidak puas secara tertulis", "penundaan kenaikan gaji berkala", "penurunan gaji", "penundaan kenaikan pangkat", "penurunan pangkat", "pembebasan dari jabatan", "pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil", dan "pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil" ditetapkan dengan surat keputusan pejabat yang berwenang menghukum.

Penyampaian keputusan hukuman disiplin
Pegawai Negeri Sipil yang dijatuhi hukuman disiplin dipanggil untuk menerima keputusan hukuman disiplin pada waktu dan tempat yang ditentukan. Keputusan hukuman disiplin disampaikan secara langsung oleh pejabat yang berwenang menghukum kepada Pegawai Negeri Sipil yang dijatuhi hukuman disiplin.
Penyampaian keputusan hukuman disiplin tersebut dapat dihadiri pegawai lain, dengan ketentuan bahwa pangkat dan jabatan pegawai yang hadir tidak boleh lebih rendah dari pangkat dan jabatan Pegawai Negeri Sipil yang dijatuhi hukuman disiplin.
Hukuman disiplin yang ditetapkan dengan keputusan Presiden disampaikan oleh pimpinan instansi tempat Pegawai Negeri Sipil yang dijatuhi hukuman disiplin bekerja.

Keberatan Terhadap Hukuman Disiplin
Pegawai Negeri Sipil yang dijatuhi hukuman disiplin dapat mengajukan keberatan atas keputusan hukuman disiplin, kecuali terhadap hukuman disiplin tingkat ringan dan hukuman disiplin berupa "pembebasan dari jabatan".
Keberatan terhadap keputusan hukuman disiplin disampaikan secara tertulis kepada atasan pejabat yang berwenang menghukum, yaitu atasan langsung pejabat yang berwenang menghukum, melalui saluran hirarkhi selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari terhitung mulai tanggal penyampaian keputusan hukuman disiplin.
Setiap atasan yang menerima keberatan terhadap hukuman disiplin wajib meneruskan keberatan tersebut kepada atasannya selambat-lambatnya selama 3 (tiga) hari kerja sejak ia menerima surat pernyataan keberatan tersebut.
Pejabat yang berwenang menghukum yang juga menerima pernyataan keberatan, meneruskannya kepada atasan pejabat yang berwenang menghukum, disertai catatan- catatan yang dianggap perlu sehubungan keputusan hukuman disiplin yang ditetapkan olehnya, selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak ia menerima surat pernyataan keberatan tersebut.
Atasan pejabat yang berwenang menghukum wajib mempelajari dengan saksama keberatan yang diajukan oleh Pegawai Negeri Sipil yang dijatuhi hukuman disiplin, serta alasan-alasan yang dikemukakan oleh pejabat yang berwenang menghukum. Atasan pejabat yang berwenang menghukum selambat-lambatnya dalam tempo 1 (satu) bulan sudah harus membuat keputusan mengenai keberatan terhadap hukuman disiplin. Keputusan tersebut dapat menguatkan atau mengubah keputusan penjatuhan hukuman disiplin yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang menghukum.
Keputusan atasan pejabat yang berwenang menghukum tidak dapat diganggu-gugat dan harus dilaksanakan oleh semua pihak.
Pegawai Negeri Sipil berpangkat Pembina Tingkat I golongan ruang IV/b ke bawah yang dijatuhi hukuman disiplin berupa "pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil" atau "pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil" dapat mengajukan keberatan kepada Badan Pertimbangan Kepegawaian (Bapek). Terhadap hukuman disiplin yang ditetapkan dengan keputusan Presiden tidak dapat diajukan keberatan.

Berlakunya Hukuman Disiplin
Hukuman disiplin ringan berlaku terhitung mulai saat keputusan hukuman disiplin disampaikan oleh pejabat yang berwenang menghukum.
Apabila tidak ada keberatan dari Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan, hukuman disiplin tingkat sedang dan berat berlaku mulai hari ke limabelas sejak penyampaian hukuman disiplin, kecuali hukuman disiplin yang dijatuhkan oleh pimpinan instansi.
Hukuman disiplin berupa "pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil" dan "pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil" yang berpangkat Pembina Tingkat I golongan ruang IV/b ke bawah, berlaku mulai hari ke lima belas sejak penyampaian keputusan hukuman disiplin, apabila tidak ada keberatan dari Pegawai Negeri Sipil yang dijatuhi kedua jenis hukuman disiplin tersebut.
Hukuman disiplin berupa "pembebasan dari jabatan" berlaku mulai saat disampaikan, dan hams segera dilaksanakan. Apabila Pegawai Negeri Sipil yang dijatuhi hukuman disiplin tidak hadir pada waktu dan tempat yang ditentukan untuk penyampaian keputusan hukuman disiplin, maka hukuman disiplin berlaku mulai hari ke 30 (tiga puluh) terhitung mulai tanggal yang ditentukan untuk penyampaian keputusan hukuman disiplin tersebut.

Hapusnya Kewajiban Menjalankan Hukuman Disiplin
Pegawai Negeri Sipil yang meninggal pada waktu sedang menjalani hukuman disiplin berupa "penundaan kenaikan gaji berkala" dan "penurunan gaji", dan "penurunan pangkat" dianggap telah selesai menjalani hukuman disiplin.
Pegawai Negeri Sipil yang mencapai batas usia pensiun pada waktu sedang menjalani hukuman disiplin berupa "penundaan kenaikan gaji berkala", "penurunan gaji", dan "penurunan pangkat" dianggap telah selesai menjalani hukuman disiplin.

Pelanggaran Disiplin Oleh Calon Pegawai Negeri Sipil
Calon Pegawai Negeri Sipil yang dijatuhi hukuman disiplin tingkat sedang atau berat karena pelanggaran disiplin tidak dapat diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil. Calon Pegawai Negeri Sipil yang dijatuhi hukuman disiplin tingkat sedang atau berat diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil.

Kartu Hukuman
Setiap jenis hukuman disiplin yang dijatuhkan, dicatat dalam Kartu Hukuman Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Kartu Hukuman Disiplin Pegawai Negeri Sipil disimpan dan dipelihara dengan baik oleh pejabat yang diserahi urusan kepegawaian.
Apabila Seorang Pegawai Negeri Sipil pindah dari instansi yang satu ke instansi lain, Kartu Hukuman Disiplin Pegawai Negeri Sipil dikirim oleh pimpinan instansi lama kepada pimpinan instansi yang baru.

UNDANG-UNDANG KEMENTERIAN NEGARA 
secara resmi bernamaUndang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara adalah undang-undang yang mengatur tentang kedudukan, tugas pokok, fungsi, susunan organisasi, pembentukan, pengubahan, menggabungkan, memisahkan dan/atau mengganti, pembubaran/menghapus kementerian, hubungan fungsional kementerian denganlembaga pemerintah, non kementerian dan pemerintah daerah serta pengangkatan dan pemberhentian menteri atau menteri kordinasi berisi penataan kembali keseluruhan kelembagaan pemerintahan sesuai dengan nomenklaturseperti departemen, kementerian negara, lembaga pemerintah nonkementerian, maupun instansi pemerintahan lain, termasuk lembaga nonstruktural.

Ketentuan
Dalam Undang-Undang tentang Kementerian Negara mengatur sbb:
§  "Kementerian" merupakan perangkat pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan
§  "Menteri" merupakan pembantu Presiden yang memimpin Kementerian
§  "Urusan Pemerintahan" merupakan setiap urusan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
§  "Pembentukan Kementerian" dilakukan dengan nomenklatur tertentu setelah Presiden mengucapkan sumpah/janji
§  "Pengubahan Kementerian" adalah pengubahan nomenklatur Kementerian dengan cara menggabungkan, memisahkan dengan menggantikan nomenklatur Kementerian yang sudah terbentuk.
§  "Pembubaran Kementerian" merupakan menghapus Kementerian yang sudah terbentuk

Fungsi Tugas
Kementerian berkedudukan di Ibu Kota Indonesia mempunyai tugas menyelenggarakan urusan tertentu dalam pemerintahan dibawah dan bertanggung jawab kepada Presiden  dalam menyelenggarakan pemerintahan negara sbb: 
§  Penyelenggara perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidangnya, pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya, pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidangnya dan pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah.
§  Perumusan, penetapan, pelaksanaan kebijakan di bidangnya, pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya, pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidangnya, pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian di daerah dan pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional.
§  Perumusan dan penetapan kebijakan di bidangnya, koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidangnya, pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya dan pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidangnya.

Urusan Pemerintahan
Setiap Menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan, yang terdiri atas:
§  Urusan pemerintahan yang nomenklatur Kementeriannya secara tegas disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, meliputi urusan luar negeri, dalam negeri, dan pertahanan.
§  Urusan pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, meliputi urusan agama, hukum, keuangan, keamanan, hak asasi manusia, pendidikan, kebudayaan, kesehatan, sosial, ketenagakerjaan, industri, perdagangan, pertambangan, energi, pekerjaan umum, transmigrasi, transportasi, informasi, komunikasi, pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, kelautan, dan perikanan.
§  Urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah, meliputi urusan perencanaan pembangunan nasional, aparatur negara, kesekretariatan negara, badan usaha milik negara, pertanahan, kependudukan, lingkungan hidup, ilmu pengetahuan, teknologi, investasi, koperasi, usaha kecil dan menengah, pariwisata, pemberdayaan perempuan, pemuda, olahraga, perumahan, dan pembangunan kawasan atau daerah tertinggal.
Setiap urusan pemerintahan, kecuali urusan luar negeri, dalam negeri, dan pertahanan, tidak harus dibentuk dalam satu Kementerian tersendiri.

Penggabungan, Pemisahan dan Pembubaran
Kementerian luar negeri, dalam negeri, dan pertahanan tidak dapat diubah dan dibubarkanpresiden dapat pengubahan Kementerian yang lain dengan mempertimbangkan, efisiensi dan efektivitas, perubahan dan/atau perkembangan tugas dan fungsi, cakupan tugas dan proporsionalitas beban tugas, kesinambungan, keserasian, dan keterpaduan pelaksanaan tugas, peningkatan kinerja dan beban kerja pemerintah serta kebutuhan penanganan urusan tertentu dalam pemerintahan secara mandiri dan/atau kebutuhan penyesuaian peristilahan yang berkembang dengan ketentuan pengubahan sebagai akibat pemisahan atau penggabungan Kementerian presiden melakukan dengan meminta pertimbangan atau persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat dengan waktu paling lama tujuh hari kerja sejak surat presiden diterima oleh Dewan Perwakilan RakyatDewan Perwakilan Rakyatsudah harus memberikan Pertimbanganbilamana Dewan Perwakilan Rakyat dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak surat presiden diterima belum juga memberikan Pertimbangan maka secara langsung Dewan Perwakilan Rakyat dianggap sudah memberikanpertimbangan sedangkan khusus untuk Kementerian agama, hukum, keuangan dan keamanan pihak presiden harus mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Jumlah Kabinet
Dalam menjalankan tugasnya Presiden dapat membentuk Menteri Koordinasi danMenteri dengan mempertimbangkan efisiensi, efektivitas, cakupan tugas dan proporsionalitas beban tugas, kesinambungan, keserasian, dan keterpaduan pelaksanaan tugas serta perkembangan lingkungan global dengan jumlah keseluruhan paling banyak tiga puluh empat  kementerian dalam tenggang waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sejak Presiden mengucapkan sumpah/janji 

Jabatan Menteri
Menteri dilarang mempunyai jabatan lain sebagai
§  Pejabat negara lainnya
§  Komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta
§  Pimpinan organisasi yang dibiayai Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD)
Jabatan Wakil Menteri
§  Bila dipandang perlu Presiden dapat mengangkat wakil Menteri pada Kementeriantertentu akan tetapi jabatan wakil Menteri tidak merupakan anggota kabinetmelainkan sebagai pejabat karier 

Ketentuan Peralihan
Kementerian seperti Departemen dan Kementerian Negara tetap menjalankan tugasnya sampai dengan terbentuknya Kementerian berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang Kementerian Negara