A. Latar Belakang Masalah
Sejarah
pajak pada mulanya merupakan suatu upeti (pemberian Cuma-cuma) namun sifatnya
merupakan kewajiban yang dapat dipaksakan dan harus dilaksanakan oleh rakyat
kepada seorang raja atau penguasa. Rakyat memberikan upetinya kepada raja waktu
itu berupa natura seperti ternak, padi atau hasil tanaman lainnya seperti
pisang, kelapa dan lain-lain1.
Saat
ini salah satu kebijakan yang sangat penting dilakukan oleh pemerintah dalam
pengendalian perekonomian adalah dengan melakukan kebijakan fiskal, yaitu
tindakan yang diambil oleh pemerintah
dalam bidang anggaran belanja negara dengan maksud untuk mempengaruhi jalannya
perekonomiaan.2, yang tiap tahunnya dilaksanakan oleh
pemerintah melalui Anggaran Pendapatan
Dan Belanja Negara.
Dalam usaha pembangunan, Kebijakan Fiskal (Fiscal Policy) mendapat
penerapannya, sehingga pajak tidak saja dimanfaatkan dalam fungsinya yang budgetair
tapi juga mengatur.3. Dalam fungsinya yang budgetair tersebut, pajak
lebih berkaitan sebagai salah satu sumber penerimaan negara yang nantinya akan
digunakan untuk membiayai kegiatan administrasi pemerintahan, sedangkan dalam
fungsinya yang mengatur
lebih berkait dengan upaya pemerintah dalam mengatur ekonomi, alokasi sumber
ekonomi, redistribusi pendapatan dan konsumsi.4
Sektor pajak saat ini menjadi sumber dana utama dalam
membiayai pembangunan, hal tersebut karena semakin lemahnya pendapatan Negara
dari sektor minyak dan gas bumi, selain itu juga karena semakin sulitnya
bantuan luar negeri. Sehingga pajak dijadikan sebagai perwujudan dari kemampuan
sendiri dalam membiayai kegiatan pembangunan dari seluruh komponen bangsa.
Dari segi perekonomian kemandirian diartikan sebagai pengurangan campur tangan
luar negeri dan untuk meningkatkan kemampuan penggunaan dan pengolahan potensi
yang ada. Dari segi politik kemandirian diartikan sebagai peningkatan peran
serta masyarakat sebagai warga negara dalam proses pembangunan.
Sebagai upaya
untuk meningkatkan penerimaan pajak dalam negeri, maka mulai tahun 1983
pemerintah telah mengadakan Tax Reform/Pembaharuan di bidang pajak, yaitu
dengan dikeluarkannya 5 (lima) undang-undang pajak baru yaitu :
1. Undang-Undang
Nomor. 6/ 1983, tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
2. Undang-Undang
Nomor. 7/ 1983, tentang Pajak Penghasilan. Keduanya mulai berlaku pada tanggal
1 Januari 1984.
3. Undang-Undang
Nomor. 8/ 1983, tentang Pajak Pertambahan Nilai Atas Barang Mewah. Berlaku
mulai tanggal 1 April 1985.
4. Undang-Undang
Nomor 12/ 1985, tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
5. Undang-Undang
Nomor. 13/ 1985, tentang Bea Materai. Berlaku mulai tanggal 1 Januari 1985
Adanya reformasi di bidang pajak ini dilatar
belakangi oleh sulitnya penerimaan dana pembangunan Negara yang disebabkan
menurunnya harga minyak bumi di pasar dunia. Sejak tahun 1980-1990 harga minyak
bumi dipasar dunia mengalami penurunan yang terus menerus dan sangat drastis,
hal tersebut menimbulkan kesulitan yang cukup besar bagi perekonomian
Indonesia.5
Dengan adanya pembaharuan di bidang pajak ini maka
sistem pemungutan pajak di negara kita mengalami perubahan yang sangat mendasar,
baik dari segi ciri dan coraknya. Perubahan tentang ciri dan corak dari sistem
pemungutan pajak tersebut adalah sebagai berikut :
a. Bahwa
pemungutan pajak merupakan perwujudan dan pengabdian juga peran serta wajib
pajak atau pemegang pajak secara langsung dan bersamasama melaksanakan
kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan negara dan pembangunan
nasional.
b. Tanggung
jawab atas kewajiban pelaksanaan sebagai pencerminan kewajiban di bidang pajak
berada pada anggota masyarakat sebagai wajib pajak atau penanggung pajak
sendiri. Pemerintah dalam hal ini aparat
perpajakan sesuai dengan fungsinya
berkewajiban melakukan pembinaan
c. Anggota
masyarakat sebagai wajib pajak diberi
kepercayaan untuk dapat melaksanakan gotong royong nasional melalui sistem
menghitung dan membayar sendiri pajak yang terhutang (self assessment),
sehingga melalui sistem ini pelaksanaan administrasi pajak diharapkan dapat dilaksanakan dengan
baik, terkendali, sederhana dan mudah untuk dipahami masyarakat sebagai wajib
pajak.
Dalam kenyataannya pada saat itu memang dirasa berat
karena :
a. Masyarakat
belum siap untuk menjadi subyek dalam sistem pajak nasional, hal ini tidak
hanya disebabkan karena masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk membayar
pajak tapi juga oleh tingkat pengetahuan masyarakat akan pajak yang masih
rendah.
b. Sumber daya manusia yang dimiliki aparat
perpajakan saat itu belum siap untuk melaksanakan sistem self assessment
c. Sarana,
prasarana dan data base yang diperlukan untuk menggali informasi dari wajib
pajak masih belum memadai.6
Menurut Profesor Miyasto, reformasi pajak yang ke II
(dua) yaitu tahun 1994, dilatar belakangi oleh beberapa kecenderungan yaitu
faktor intern dan ekstern yang dihadapi oleh bangsa Indonesia pada era tahun
1990, yaitu semakin kuatnya tekad bangsa Indonesia untuk lebih mandiri dalam penerimaan Negara dan daerah. Hal ini
seiring dengan meningkatnya hutang-hutang Indonesia dan tekanan dari negara kreditur yang mengaitkan
pinjaman luar negeri dengan isu politik saat itu. Dalam hal yang demikian ini
pajak sebagai sumber penerimaan Negara merupakan sumber utama penerimaan
Negara.
Reformasi pajak nasional yang kedua dimaksudkan
untuk melindungi masyarakat sebagai wajib pajak, mengenakan pembayaran
pajak yang jelas pada wajib pajak,
kepastian hukum dan keadilan dalam penyelesaian sengketa pajak juga untuk
tertibnya pelaksanaan pembayaran. Sebagai upaya
untuk untuk mewujudkan reformasi pajak nasional kedua adalah dengan
berlakunya :
a. Undang-Undang
Nomor. 9/ 1994, tentang perubahan Undang-Undang Nomor. 6/ 1983, tentang
Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan.
b. Undang-Undang
Nomor. 10/ 1994, tentang perubahan Undang-Undang Nomor. 8/ 1983, tentang Pajak
Pertambahan Nilai Dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
c. Undang-Undang
Nomor. 12/ 1994, tentang Perubahan Undang-Undang Nomor. 12/1985, tentang Pajak
Bumi dan Bangunan.
d. Undang-Undang
Nomor. 17/ 1997, tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak.
e. Undang-Undang
Nomor. 18 /1997, tentang Pajak Daerah dan Redistribusi Daerah.
f. Undang-Undang
Nomor. 12 /1997, tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa.
g. Undang-Undang
Nomor. 20 /1997, tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
h. Undang-Undang
Nomor 21
/1997 , tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan.
Begitu pentingnya sektor pajak bagi
peningkatan pendapatan Negara menimbulkan reformasi pajak yang ketiga pada tahun 2000 yaitu dengan
diberlakukannya :
a. Undang-Undang
Nomor.16 /2000, tentang perubahan kedua atas UndangUndang Nomor. 6 /1983,
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
b. Undang-Undang
Nomor. 17/ 2000, tentang perubahan kedua atas UndangUndang Nomor. 7/ 1983,
tentang Pajak Penghasilan.
c. Undang-Undang
Nomor. 18/ 2000, tentang perubahan kedua atas UndangUndang 8 / 1983, tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah.
d. Undang-Undang
Nomor. 19/ 2000, tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa.
e. Undang-Undang
Nomor. 20/ 2000, tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 21 /1997, tentang
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan.
Berdasarkan
hal-hal yang telah diuraikan diatas maka dapat diketahui bahwa Pajak Bumi dan
Bangunan merupakan salah satu pajak hasil Tax Reform. Secara umum dapat
dikatakan bahwa pajak adalah pungutan dari masyarakat
kepada Negara (pemerintah) berdasarkan undang-undang
yang bersifat dapat dipaksakan dan terutang oleh yang wajib membayarnya dengan tidak mendapat prestasi kembali
(kontra prestasi/balas jasa ) secara langsung yang hasilnya digunakan untuk
membiayai pengeluaran Negara dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan.7
Dari definisi di atas dapat ditarik kesimpulan
beberapa ciri yang melekat pada pengertian pajak8 yaitu :
1. Pajak
dipungut oleh Negara (baik oleh pemerintah pusat maupun daerah), berdasarkan
kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya.
2. Pembayaran
pajak harus masuk kepada kas Negara.
3. Pembayaran
pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontra prestasi individu oleh pemerintah
(tidak ada imbalan langsung yang diperoleh si pembayar pajak).
4. Penyelenggaraan
pemerintahan secara umum merupakan manifestasikontra
prestasi
dari Negara.
5. Pajak
diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran pemerintah yang bila dari
pemasukkannya masih terdapat kelebihan atau surplus, digunakan untuk tabungan
public (public saving).
6. Pajak
dipungut disebabkan adanya suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang
memberikan kedudukan tertentu pada seseorang.
Di Indonesia sendiri terdapat
beberapa jenis pajak salah satunya
adalah Pajak Bumi Dan Bangunan, pengertian Pajak Bumi dan Bangunan secara
khusus adalah merupakan pajak yang dikenakan atas pemilikan dan atau pemanfaatan
bumi dan bangunan di Indonesia. Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia didasarkan pada pemikiran bahwa
bumi dan bangunan memberikan keuntungan dan atau kedudukan ekonomi yang lebih
baik bagi bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau
memperoleh manfaat daripadanya. Oleh karena itu wajar apabila mereka diwajibkan
memberikan sebagian dari manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya kepada
Negara melalui pajak.
Dalam pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan
ini menggunakan sistem
pemungutan Official Assessment. Official Assessment merupakan suatu sistem
pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk
menentukan besarnya pajak yang terutang yang harus dibayar oleh wajib pajak.
Dalam sistem ini, wajib pajak bersifat pasif dan menunggu penetapan pajak oleh fiskus, kemudian membayar pajak
yang terutang sesuai dengan besarnya ketetapan pajak yang ditetapkan oleh
fiskus.9
Dalam
melakukan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan ini kadang-kadang terjadi selisih
pendapat atau sengketa pajak antara wajib pajak dan pemerintah dalam hal ini
Kantor Pajak mengenai besarnya pajak yang harus dibayarkan. Sementara itu dalam
praktiknya, penyelesaian sengketa perpanjakan ini telah di atur oleh
undang-undang nomor 14 tahun 2002
tentang pengadilan pajak di pengadilan pajak.
Pemilihan judul penelitian tesis ini
berdasarkan kepada keingin-tahuan penulis tentang bagaimana penyelesaian
sengketa Pajak Bumi dan Bangunan di Kantor Pelayanan Pajak dengan mengacu pada
undang-undang nomor 14 tahun 2002 .
Pemilihan lokasi penelitian tesis ini
dilakukan di Kabupaten Bogor, didasarkan pada pertimbangan bahwa Kabupaten
Bogor adalah salah satu Kabupaten besar di Indonesia dan merupakan wilayah
penyanggah Ibu Kota Negara yang perkembangan ekonominya cukup pesat tingkat..
B.
Identifikasi dan Rumusan masalah
Pelaksanaan
pemungutan Pajak yang tidak sesuai dengan Undang-undang perpajakan akan
menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat Wajib Pajak, sehingga dapat
mengakibatkan timbulnya Sengketa Pajak antara Wajib Pajak dan pejabat yang
berwenang. Pajak memegang peran penting dan strategis dalam penerimaan negara,
Oleh karena itu dalam penyelesaian Sengketa Pajak diperlukan jenjang
pemeriksaan ulang vertikal yang lebih ringkas. Selain itu penyelesaian Sengketa
Pajak harus dilakukan dengan adil melalui prosedur dan proses yang cepat,
murah, dan sederhana serta mengandung kepastian hokum bagi warga masyarakat
atau wajib pajak.
Selain
itu, proses penyelesaian Sengketa Pajak melalui Pengadilan Pajak hanya
mewajibkan kehadiran terbanding atau tergugat, sedangkan pemohon Banding atau
penggugat dapat menghadiri persidangan atas kehendaknya sendiri, kecuali
apabila dipanggil oleh Hakim atas dasar alasan yang cukup jelas.
Dalam
hal Banding diajukan terhadap besarnya jumlah Pajak yang terutang, penyelesaian
sengketa perpajakan melalui Pengadilan Pajak mengharuskan Wajib Pajak untuk melunasi 50 % (lima puluh
persen) kewajiban perpajakannya terlebih dahulu. Meskipun demikian proses
penyelesaian sengketa perpajakan melalui Pengadilan Pajak tidak menghalangi
proses penagihan Pajak, hal tersebut juga membebani wajib pajak karena harus
bertanggungjawab untuk sesuatu yang belum terbukti jelas.
Berdasarkan
uraian dalam diatas, maka yang menjadi rumusan permasalahan pokok dalam
penulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah
terjadinya sengketa pajak di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan
Bangunan Kabupaten Bogor ?
2. Proses
upaya hukum apa yang dapat di tempuh oleh wajib pajak apabila terjadi sengketa
pajak menurut undang-undang nomor 14 tahun 2002 ?
3. Bagaimana
penyelesaian sengketa pajak menurut undang-undang nomor 14 tahun 2002 yang dilakukan di Kantor PelayananPajak Bumi
dan Bangunan Kabupaten Bogor ?
4. Apasaja
kendala dalam penyelesaian sengketa pajak sesuai dengan undang-undang nomor 14
tahun 2002 ?
C.
Tujuan Penelitian
Tujuan
penelitian yang dilakukan dalam tesis mengenai Penyelesaian sengketa Pajak Bumi
dan Bangunan menurut undang-undang nomor 14 tahun 2002 Di Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Kabupaten
Bogor ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui
sebab terjadinya sengketa pajak di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Bumi
dan Bangunan Kabupaten Bogor;
2. Mengetahui
upaya-upaya hukum yang ditempuh oleh wajib pajak apabila terjadi sengketa
pajak;
3. Mengetahui
bentuk penyelesaian sengketa pajak yang dilakukan di Kantor Pelayanan Pajak
Bumi dan Bangunan Kabupaten Bogor;
4. Mengetahui
kendala apasaja dalam penyelesaian sengketa pajak sesuai dengan undang-undang
nomor 14 tahun 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar